Hari Kamis kemarin, bersama
teman-teman komunitas KERLAP, Si Bocah mengunjungi IIBF. Berangkat dari Depok pukul
6 pagi. Wuih...lumayan untuk anak usia 3 tahun. Apalagi hujan turun sejak
sebelum subuh belum reda. Namun, keriangan akan berjalan-jalan dengan
teman-temannya naik bus membawa energi positif di diri Si Bocah sehingga membuat
segala persiapan yang saya lakukan lebih mudah.
Perjalanan kami
lumayan lama karena macet di beberapa titik sebab ada demo buruh. Namun, secara
keseluruhan semua baik-baik saja. Anak-anak yang rata-rata balita ini masih
semangat semuanya.
Sesampainya di
lokasi, suasana masih sedikit sepi. Rombongan kami disambut panitia. Setelah
melakukan sesi bergaya di foto booth,
kami pun duduk di depan panggung dongeng. Terlihat rombongan anak sekolahan
juga mulai berdatangan dan duduk bersama di area mendongeng.
Suasana menyenangkan langsung
terasa. Si Kakak pendongeng sangat trampil menirukan berbagai jenis suara
binatang dan manusia. Semua anak senang. Semua anak bergembira dan tertawa. Lucu
memang. Kakak Pendongeng mendongengkan cerita tentang asal mula Danau Toba.
Awalnya semua
berjalan baik-baik saja. Sesekali masih ada suara tertawa renyah anak-anak
melihat aksinya. Namun, ketika Ayah Toba marah kepada anaknya, Samosir, semua
berubah. Terutama bagi Si Bocah saya. Menjiwai
rasa marah yang meluap, Kakak Pendongeng terlihat begitu marah dengan suara
menggelegar.
Si Bocah yang masih 3
tahun dan nyaris tidak pernah mendengar suara seperti itu ketakutan. Pecahlah tangisnya.
Memeluk saya erat dan mengatakan tidak mau mendengar lagi dongengnya. Saya pun
menjauh. Menenangkannya dan berkata kalau itu tadi tidak sungguhan marahnya. Si
Bocah memang menjadi tenang namun menolak kembali.
Akhirnya, saya pun
berkeliling. Melihat pameran buku dan sampai di kampung Indonesia. Melihat
buku-buku cerita edisi balita dengan gambar dan warna menarik, Si Bocah kerasan. Membukai satu per satu dan
minta diceritakan. Ceritanya sederhana tentang kemandirian dan keseharian namun
menarik dan menyenangkan. Ada 5 buku dan kami pun kembali melihat-lihat. Bertemu
dengan beberapa teman komunitas yang juga tidak tuntas mendengarkan dongeng.
Setelah beberapa
saat, kami bergabung kembali dengan yang lain. Berkunjung ke stand KPK yang
sedang mencanangkan gerakan Aku Anak Jujur
melalui literasi. Di sana, ternyata ada beberapa aktivitas. Mendongeng salah
satunya. Ada karakter kumbi dan teman-temannya. Mereka bermain bersama. Anak-anak
senang sekali mendengarkan. Terlihat seru membayangkan apa yang dilakukan Si
Kumbi. Sampai mendekat ke kakak pendongeng semua.
Namun, ohlala! Ada kata-kata
yang sejujurnya membuat saya tidak sreg. Berulang
kali kakak pendongeng mengucapkan kata ‘nakal’ untuk anak-anak yang tidak jujur
atau berbohong. Meminta anak-anak bahkan mengulang kata ‘nakal’ itu bersama-sama.
Si Bocah merasa
sangat tidak nyaman dan menangis (lagi). Protes mengapa kakaknya selalu
mengucapkan kata ‘nakal’. Siapa yang nakal ? Mengapa nakal ? Nakal itu apa ? Mau
tidak mau, saya pun mengajaknya pergi. Tidak bisa mengikuti rangkaian
kegiatannya secara tuntas. Sebagus apapun aktivitas, kalau anaknya tidak nyaman
tidak akan menarik baginya.
Kata ‘nakal’ tidak
ada di kamus keluarga kami. Apalagi diucapkan hanya untuk melabeli seorang anak.
Buat kami, tidak ada anak nakal apalagi di usia balita seperti saat ini. Mereka
belum bisa membedakan baik dan buruk. Semua menarik. Semua direkam. Semua ditiru.
Tugas kita para ortu ini mendampingi dan memberi contoh baik kepada mereka. Bukan
malah melabelinya.
Anak saya sebenarnya
sangat senang mendengarkan cerita. Sepulang dari IIBF, semua buku serial Si Kumbi dibuka dan diperlihatkan
kepada ayahnya. Meminta diceritakan. Saya pun senang dengan gerakan literasi
dari KPK ini.
Namun, yang perlu dicermati
adalah kesesuaian buku dengan usia anak-anak. Buku untuk anak usia tk (4-6
tahun) pasti berbeda dengan buku-buku untuk anak-anak usia sekolah dasar ( 7-12
tahun). Tidak bisa disamakan. Alangkah senangnya bila gerakan literasi dari KPK
ini pun memperhatikan tentang perkembangan anak sesuai usianya. Memilih menggunakan
kata-kata positif dan meminimalkan kata-kata negatif sepertinya juga jauh lebih
baik, bukan ?
Dulu ketika masih ada dlm group Penulis Bacaan Anak, ada pemberitahuan untuk kirim masalah ke KPK cerita anak anti korupsi. Beberapa penulis cerita anak digroup itu byk yg terkenal, mulai kelas penerbitan hingga kompas anak dan Bobo. Beragam latar belakang dan saya sering mengernyitkan dahi bila ada paham yg tdk saya setujui. Antara lain pilihan kata dan sudut pandang yg dipake.
ReplyDeleteAkhirnya capek deh daya keluar. Aplg musim princess-princessan dikaitkan dg agama dan ... muales bukan genre saya. Tp byk diterbitkan, selera pasar sptnya banyak berperan. Ya sdh.
Cerita rakyat Indonesia jg jarang yg win+win solution (saya hy nemu sedikit pd relief Candi Penataran, cerita Tantri Kamandaka tinggalan Tantrayana salah satunya bubuksah dan gagang aking ... meski ada yg agak seem perilaku bubuksah yg makan apapun yg masuk dlm jebakannya tak terkecuali manusia). Banyak cerita rakyat yg berisi dendam, amarah dan kutukan.
Yg bhkn tdk habis saya pahami saat ini adalah cerita ttg naga baruklinting. Mgkn saya tdk tuntas mendengar kisah utuhnya :)
Yups, hrsnya org tua hati-hati dan mendampingi anak. Tdk semua cerita rakyat anak sesuai dg umur. Dan byk jg penulis buku anak yg tdk mendalami atau memahami psikologi anak.
Iya. Makanya mengapa saya lebih memilih hans christian andersen, enid blyton, perrault untuk dongeng. hallo balita juga bagus :-)
DeleteSudah saatnya kita menghargai keberadaan dan kebutuhan anak. Terima kasih apresiasinya.
Nice blog. I enjoy reading some of the entries :)
ReplyDeletethanks :-) nice to hear that
Delete