Pages

Saturday 1 October 2016

Anak Nakal di Acara Mendongeng KPK

Hari Kamis kemarin, bersama teman-teman komunitas KERLAP, Si Bocah mengunjungi IIBF. Berangkat dari Depok pukul 6 pagi. Wuih...lumayan untuk anak usia 3 tahun. Apalagi hujan turun sejak sebelum subuh belum reda. Namun, keriangan akan berjalan-jalan dengan teman-temannya naik bus membawa energi positif di diri Si Bocah sehingga membuat segala persiapan yang saya lakukan lebih mudah.

Perjalanan kami lumayan lama karena macet di beberapa titik sebab ada demo buruh. Namun, secara keseluruhan semua baik-baik saja. Anak-anak yang rata-rata balita ini masih semangat semuanya.

Sesampainya di lokasi, suasana masih sedikit sepi. Rombongan kami disambut panitia. Setelah melakukan sesi bergaya di  foto booth, kami pun duduk di depan panggung dongeng. Terlihat rombongan anak sekolahan juga mulai berdatangan dan duduk bersama di area mendongeng.

Suasana menyenangkan langsung terasa. Si Kakak pendongeng sangat trampil menirukan berbagai jenis suara binatang dan manusia. Semua anak senang. Semua anak bergembira dan tertawa. Lucu memang. Kakak Pendongeng mendongengkan cerita tentang asal mula Danau Toba.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Sesekali masih ada suara tertawa renyah anak-anak melihat aksinya. Namun, ketika Ayah Toba marah kepada anaknya, Samosir, semua berubah. Terutama bagi Si Bocah saya.  Menjiwai rasa marah yang meluap, Kakak Pendongeng terlihat begitu marah dengan suara menggelegar.

Si Bocah yang masih 3 tahun dan nyaris tidak pernah mendengar suara seperti itu ketakutan. Pecahlah tangisnya. Memeluk saya erat dan mengatakan tidak mau mendengar lagi dongengnya. Saya pun menjauh. Menenangkannya dan berkata kalau itu tadi tidak sungguhan marahnya. Si Bocah memang menjadi tenang namun menolak kembali.

Akhirnya, saya pun berkeliling. Melihat pameran buku dan sampai di kampung Indonesia. Melihat buku-buku cerita edisi balita dengan gambar dan warna menarik, Si Bocah kerasan. Membukai satu per satu dan minta diceritakan. Ceritanya sederhana tentang kemandirian dan keseharian namun menarik dan menyenangkan. Ada 5 buku dan kami pun kembali melihat-lihat. Bertemu dengan beberapa teman komunitas yang juga tidak tuntas mendengarkan dongeng.

Setelah beberapa saat, kami bergabung kembali dengan yang lain. Berkunjung ke stand KPK yang sedang mencanangkan gerakan Aku Anak Jujur melalui literasi. Di sana, ternyata ada beberapa aktivitas. Mendongeng salah satunya. Ada karakter kumbi dan teman-temannya. Mereka bermain bersama. Anak-anak senang sekali mendengarkan. Terlihat seru membayangkan apa yang dilakukan Si Kumbi. Sampai mendekat ke kakak pendongeng semua.

Namun, ohlala! Ada kata-kata yang sejujurnya membuat saya tidak sreg. Berulang kali kakak pendongeng mengucapkan kata ‘nakal’ untuk anak-anak yang tidak jujur atau berbohong. Meminta anak-anak bahkan mengulang kata ‘nakal’ itu bersama-sama.

Si Bocah merasa sangat tidak nyaman dan menangis (lagi). Protes mengapa kakaknya selalu mengucapkan kata ‘nakal’. Siapa yang nakal ? Mengapa nakal ? Nakal itu apa ? Mau tidak mau, saya pun mengajaknya pergi. Tidak bisa mengikuti rangkaian kegiatannya secara tuntas. Sebagus apapun aktivitas, kalau anaknya tidak nyaman tidak akan menarik baginya.

Kata ‘nakal’ tidak ada di kamus keluarga kami. Apalagi diucapkan hanya untuk melabeli seorang anak. Buat kami, tidak ada anak nakal apalagi di usia balita seperti saat ini. Mereka belum bisa membedakan baik dan buruk. Semua menarik. Semua direkam. Semua ditiru. Tugas kita para ortu ini mendampingi dan memberi contoh baik kepada mereka. Bukan malah melabelinya.

Anak saya sebenarnya sangat senang mendengarkan cerita. Sepulang dari IIBF, semua buku  serial Si Kumbi dibuka dan diperlihatkan kepada ayahnya. Meminta diceritakan. Saya pun senang dengan gerakan literasi dari KPK ini.

Namun, yang perlu dicermati adalah kesesuaian buku dengan usia anak-anak. Buku untuk anak usia tk (4-6 tahun) pasti berbeda dengan buku-buku untuk anak-anak usia sekolah dasar ( 7-12 tahun). Tidak bisa disamakan. Alangkah senangnya bila gerakan literasi dari KPK ini pun memperhatikan tentang perkembangan anak sesuai usianya. Memilih menggunakan kata-kata positif dan meminimalkan kata-kata negatif sepertinya juga jauh lebih baik, bukan ?




4 comments:

  1. Dulu ketika masih ada dlm group Penulis Bacaan Anak, ada pemberitahuan untuk kirim masalah ke KPK cerita anak anti korupsi. Beberapa penulis cerita anak digroup itu byk yg terkenal, mulai kelas penerbitan hingga kompas anak dan Bobo. Beragam latar belakang dan saya sering mengernyitkan dahi bila ada paham yg tdk saya setujui. Antara lain pilihan kata dan sudut pandang yg dipake.

    Akhirnya capek deh daya keluar. Aplg musim princess-princessan dikaitkan dg agama dan ... muales bukan genre saya. Tp byk diterbitkan, selera pasar sptnya banyak berperan. Ya sdh.

    Cerita rakyat Indonesia jg jarang yg win+win solution (saya hy nemu sedikit pd relief Candi Penataran, cerita Tantri Kamandaka tinggalan Tantrayana salah satunya bubuksah dan gagang aking ... meski ada yg agak seem perilaku bubuksah yg makan apapun yg masuk dlm jebakannya tak terkecuali manusia). Banyak cerita rakyat yg berisi dendam, amarah dan kutukan.

    Yg bhkn tdk habis saya pahami saat ini adalah cerita ttg naga baruklinting. Mgkn saya tdk tuntas mendengar kisah utuhnya :)

    Yups, hrsnya org tua hati-hati dan mendampingi anak. Tdk semua cerita rakyat anak sesuai dg umur. Dan byk jg penulis buku anak yg tdk mendalami atau memahami psikologi anak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Makanya mengapa saya lebih memilih hans christian andersen, enid blyton, perrault untuk dongeng. hallo balita juga bagus :-)
      Sudah saatnya kita menghargai keberadaan dan kebutuhan anak. Terima kasih apresiasinya.

      Delete
  2. Nice blog. I enjoy reading some of the entries :)

    ReplyDelete