The Internet is among few
things humans have built
that they don’t truly
understand.
-Eric Schmidt-
“Alhamdulillah,
sudah sampai rumah’, ucap Aro, 2,5 tahun, sepulang dari bermain. Sebagai orang
tua, saya bangga dengan kebiasaan barunya ini. Ia bisa menirukan hal-hal yang
menurut kami baik belakangan ini. Satu hal yang kemudian menjadi inspirasi Saya
untuk menulis catatan ini yaitu Aro tidak meniru kebiasaan ini dari kami, orang
tuanya, tapi kebiasaan yang diajarkan oleh Youtube. Ya, sejak beberapa bulan
lalu ia mulai asik berlama-lama di depan laptop
mengikuti petualangan Ella dan Ello. Dua nama terakhir adalah nama
karakter dalam serial kartun yang diproduksi oleh sebuah chanel animasi di
Youtube.
Perangkat
teknologi informasi komunikasi atau yang sering disebut gadget menjadi bagian dari keseharian sekarang ini. Anak-anak
dengan mudah mengakses berbagai tayangan video atau pun informasi melalui smartphone. Sesuatu yang tidak kita
jumpai sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Kini, kita menghadapi ledakan
informasi yang tak henti-hentinya menyeruak masuk ke ruang keluarga, bahkan
ruang intim kita sebagai pribadi. Lantas bagaimana kita mengenalkan teknologi
baru ini kepada anak kita?
Dulu,
masa kecil saya di era 80-an hanya mengenal tiga jenis media. Koran yang
ditempel dib alai dusun. Radio tetangga yang seringkali hanya diputar untuk
mendengarkan kiriman salam lewat acara dangdut atau mengikuti cerita sandiwara
radio. Terakhir,yang paling canggih adalah televisi. Itupun hanya bisa saya
dapatkan seminggu sekali saat nonton di rumah Pak Lurah bersama teman sebaya. Informasi
menjadi barang langka dan milik golongan tertentu saja.
Baru
kemudian pada masa kuliah saya mengenal internet. Berlanjut dengan mengenal
produk-produk media digital seperti e-book, digital musik dan lain-lain. Namun
saya masih sangat nyaman dengan mencoret-coret buku cetak atau mendengarkan
lagu-lagu lama yang direkam dalam pita kaset. Dalam istilah Marc Prensky,
mereka yang lahir sebelum tahun 1985 dan hari ini mengakses teknologi digital
disebut sebagai digital immigrant.
Aro
dan anak-anak yang lahir pada mulai awal 90-an memiliki pengalaman media yang
berbeda. Merekalah penduduk asli dunia digital (digital native) yang sejak
kecil dikelilingi internet, laptop, handphone, pemutar musik digital dan
lain-lain. Masa ketika perangkat media sudah begitu nyaman bersarang di setiap
rumah. Tidak hanya bentuk fisiknya saja tetapi sifatnya yang sangat berbeda
dengan media-media pada generasi sebelumnya.
Media
generasi baru yang berbasis internet memungkinkan terjadinya interaksi yang
lebih intens antara produsen dan konsumen informasi sehingga mengaburkan kedua
istilah ini dalah istilah produsen sekaligus konsumen (prosumer). Hal yang
tidak dimiliki oleh media pada generasi media sebelumnya.
Aro
belum bisa memindahtayangan lewat touchscreen,
tapi ia tahu bahwa ikon-ikon di layar akan menunjukkan hal yang berbeda jika
disentuh. Maka ia tinggal menyentuhkan jarinya ke ikon yang diinginkan sambil
berteriak ke ayahnya. Kadang ini begitu menjengkelkan karena harus mondar-mandir
mengklik tautan video yang diinginkan Aro. Namun belakangan saya mulai lebih
fokus untuk menemaninya di depan layar komputer. Ini penting karena
tayangan-tayangan yang tidak layak sering
“nyempil” diantara tayangan anak-anak. Ada video porno yang diberi judul “tayangan
lucu”, kartun tentang kekerasan yang dikategorikan sebagai kisah petualangan
dan lain-lain.
Lantas
bagiamana menjaga anak-anak kita dari hal buruk media digital ini? Ada banyak
pendapat untuk menjawabnya namun kami sepakat ada tiga hal yang berusaha kami
terapkan. Pertama, mengatur jam akses internet. Ia hanya boleh mengakses
internet dua sampai tiga jam perhari. Mengatur waktu interaksinya dengan
internet sangat penting agar ia tidak melulu berinteraksi dengan tokoh-tokoh di
dunia digital tanpa bersosialisasi. Kedua, kami mempersempit ruang aksesnya
pada internet dengan meletakkan komputer di lantai yang berbeda dengan
tempatnya tidur. Artinya ia harus berjalan dulu untuk menuju ruang komputer
sehingga memungkinkan mengalihkan perhatiannya pada hal yang lain Ketiga, kami
berusaha untuk terus mendampingi saat ia sedang menjelajah bersama
kawan-kawannya di Youtube. Ini penting karena usia dua sampai empat tahun
merupakan usia emas perkembangan otak. Saat dimana hampir semua hal yang
dilihat anak akan ditiru. Entah itu baik atau pun buruk.(obi)
No comments:
Post a Comment