Pages

Sunday 27 September 2015

Menjadi Orang Tua Bagi Penghuni Dunia Digital

The Internet is among few things humans have built
that they don’t truly understand.
-Eric Schmidt-

“Alhamdulillah, sudah sampai rumah’, ucap Aro, 2,5 tahun, sepulang dari bermain. Sebagai orang tua, saya bangga dengan kebiasaan barunya ini. Ia bisa menirukan hal-hal yang menurut kami baik belakangan ini. Satu hal yang kemudian menjadi inspirasi Saya untuk menulis catatan ini yaitu Aro tidak meniru kebiasaan ini dari kami, orang tuanya, tapi kebiasaan yang diajarkan oleh Youtube. Ya, sejak beberapa bulan lalu ia mulai asik berlama-lama di depan laptop  mengikuti petualangan Ella dan Ello. Dua nama terakhir adalah nama karakter dalam serial kartun yang diproduksi oleh sebuah chanel animasi di Youtube.

Perangkat teknologi informasi komunikasi atau yang sering disebut gadget menjadi bagian dari keseharian sekarang ini. Anak-anak dengan mudah mengakses berbagai tayangan video atau pun informasi melalui smartphone. Sesuatu yang tidak kita jumpai sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Kini, kita menghadapi ledakan informasi yang tak henti-hentinya menyeruak masuk ke ruang keluarga, bahkan ruang intim kita sebagai pribadi. Lantas bagaimana kita mengenalkan teknologi baru ini kepada anak kita?
Dulu, masa kecil saya di era 80-an hanya mengenal tiga jenis media. Koran yang ditempel dib alai dusun. Radio tetangga yang seringkali hanya diputar untuk mendengarkan kiriman salam lewat acara dangdut atau mengikuti cerita sandiwara radio. Terakhir,yang paling canggih adalah televisi. Itupun hanya bisa saya dapatkan seminggu sekali saat nonton di rumah Pak Lurah bersama teman sebaya. Informasi menjadi barang langka dan milik golongan tertentu saja.
Baru kemudian pada masa kuliah saya mengenal internet. Berlanjut dengan mengenal produk-produk media digital seperti e-book, digital musik dan lain-lain. Namun saya masih sangat nyaman dengan mencoret-coret buku cetak atau mendengarkan lagu-lagu lama yang direkam dalam pita kaset. Dalam istilah Marc Prensky, mereka yang lahir sebelum tahun 1985 dan hari ini mengakses teknologi digital disebut sebagai digital immigrant.
Aro dan anak-anak yang lahir pada mulai awal 90-an memiliki pengalaman media yang berbeda. Merekalah penduduk asli dunia digital (digital native) yang sejak kecil dikelilingi internet, laptop, handphone, pemutar musik digital dan lain-lain. Masa ketika perangkat media sudah begitu nyaman bersarang di setiap rumah. Tidak hanya bentuk fisiknya saja tetapi sifatnya yang sangat berbeda dengan media-media pada generasi sebelumnya.
Media generasi baru yang berbasis internet memungkinkan terjadinya interaksi yang lebih intens antara produsen dan konsumen informasi sehingga mengaburkan kedua istilah ini dalah istilah produsen sekaligus konsumen (prosumer). Hal yang tidak dimiliki oleh media pada generasi media sebelumnya.
Aro belum bisa memindahtayangan lewat touchscreen, tapi ia tahu bahwa ikon-ikon di layar akan menunjukkan hal yang berbeda jika disentuh. Maka ia tinggal menyentuhkan jarinya ke ikon yang diinginkan sambil berteriak ke ayahnya. Kadang ini begitu menjengkelkan karena harus mondar-mandir mengklik tautan video yang diinginkan Aro. Namun belakangan saya mulai lebih fokus untuk menemaninya di depan layar komputer. Ini penting karena tayangan-tayangan yang tidak layak  sering “nyempil” diantara tayangan anak-anak. Ada video porno yang diberi judul “tayangan lucu”, kartun tentang kekerasan yang dikategorikan sebagai kisah petualangan dan lain-lain.
Lantas bagiamana menjaga anak-anak kita dari hal buruk media digital ini? Ada banyak pendapat untuk menjawabnya namun kami sepakat ada tiga hal yang berusaha kami terapkan. Pertama, mengatur jam akses internet. Ia hanya boleh mengakses internet dua sampai tiga jam perhari. Mengatur waktu interaksinya dengan internet sangat penting agar ia tidak melulu berinteraksi dengan tokoh-tokoh di dunia digital tanpa bersosialisasi. Kedua, kami mempersempit ruang aksesnya pada internet dengan meletakkan komputer di lantai yang berbeda dengan tempatnya tidur. Artinya ia harus berjalan dulu untuk menuju ruang komputer sehingga memungkinkan mengalihkan perhatiannya pada hal yang lain Ketiga, kami berusaha untuk terus mendampingi saat ia sedang menjelajah bersama kawan-kawannya di Youtube. Ini penting karena usia dua sampai empat tahun merupakan usia emas perkembangan otak. Saat dimana hampir semua hal yang dilihat anak akan ditiru. Entah itu baik atau pun buruk.(obi)





No comments:

Post a Comment