berinisiatif dalam kelompok |
Di lain waktu, seorang murid mengatakan tidak jadi ikut lomba. Takut tak menang katanya. “Lho? Belum dicoba kok sudah tahu kalau tak juara ?” tanya saya. “Iya,bu. Soalnya kakak bilang aku tak mungkin menang, lawannya hebat-hebat.” Hm…
Pada saat-saat tertentu di kelas, saya meminta anak-anak menyelesaikan sesuatu secara berkelompok dan tanpa saya memberikan petunjuk. Mereka bebas memilih cara penyelesaiannya asalkan semua teman setuju dan rukun. Sesuatu itu kadang berupa kasus berhitung, memutuskan nama kelompok, menyusun puzzle, atau membagi benda secara merata.
Awalnya, banyak konflik terjadi. Perselisihan antar anak di usia perkembangan. Ada anak yang cukup percaya diri sehingga berani membuat keputusan namun karena ada anak yang takut membuat kesalahan, jadi mereka pun tarik ulur. Ada pula anak yang diam saja, tak ada inisiatif mencoba sebab takut salah. Saya ‘hanya mengamati’ dulu. Melihat sejauh mana mereka mampu menyelesaikan persoalannya.
Hasilnya ? Ada kelompok yang berhasil dan banyak kelompok yang tidak berhasil. Saya pun menanyakan sebab mengapa tak berhasil. Jawaban pun beragam. Ada yang bingung, takut salah, ribut dengan teman karena beda pendapat, atau tak ada ide. Jawaban dari kelompok yang berhasil adalah dicoba saja semua cara.
Takut salah, takut membuat kekeliruan,takut tak berhasil memang kerap menghantui anak-anak. Kita pun, para dewasa kerap tidak menerima bila mereka melakukan kesalahan. Kadang langsung memarahinya. Membuat anak-anak pun belajar takut untuk salah sebab akan dimarahi. Sering kali, ketakutan ini pula yang membuat mereka menjadi takut berinisiatif. Menjadikan mereka memilih pasif dan menunggu keputusan dari kita, para dewasa.
Melakukan kesalahan bagi anak-anak di usia perkembangan pun sebenarnya adalah proses belajar pula. Menunjukkan kepada mereka sesuatu yang salah. Tugas kita sebagai para dewasa adalah memberikan bimbingan dan menunjukkan mana yang benar sehingga mereka mampu membedakan keduanya.
Ketika kita, para dewasa ini langsung memarahi ketika dia melakukan kesalahan, yang terjadi adalah anak menjadi takut dan tak percaya diri. Lebih memilih menunggu dan melihat daripada mengambil inisiatif.
berani mencoba, tak takut salah |
“Ternyata kalau sudah tahu caranya mudah. Kenapa bu Erna tak memberi tahu saja sebelumnya agar kami langsung bisa ?”
Agar kalian tahu rasanya keliru. Jadi nanti, bisa memperbaiki kelirunya dengan melakukan yang lebih baik. Kalau berhasil terus, saat gagal, bisa sangat sedih jadinya.
Berbuat keliru, salah, atau kadang gagal dan tak juara adalah hal wajar di hidup ini. Namun bila anak-anak tidak dikenalkan hal-hal tersebut, akan berat bagi mereka nantinya. Keharusan selalu melakukan yang benar akan membebani anak dan membuat mereka menjadi pribadi yang takut dan tak percaya diri.
Kesempatan mengenal sesuatu yang keliru, salah, atau gagal adalah pembelajaran pula bagi anak-anak mengatasi persoalan dalam dirinya sekaligus melatih mereka menjadi pribadi ulet yang berani mengambil resiko. Ketika mereka telah mampu mengatasi kekeliruannya, tugas kita adalah memberikan reaksi positif akan usahanya itu. Anak pun belajar bahwa keliru itu wajar, asal kemudian bisa memperbaikinya menjadi lebih baik lain kali.
Kemuliaan manusia itu ndak diukur dari apakah dia bersih dari kesalahan atau ndak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau ndak melakukannya. Tapi, bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah keliru, Tuhan tahu itu.
ReplyDeleteNayana, ingat masa kecil kita tidak ? juara itu biasa tapi tak juara itu yang pasti ada apa-apanya :-) Pernah mengalami seperti itu jadi harus lebih baik ke depan bila memiliki anak ya ? ;-)
ReplyDelete