Pages

Sunday 4 December 2011

To be Your Self

narnia.wikia.com
Hari minggu, di sebuah stasiun televisi saya melihat tayangan berita tentang seorang artis yang mengganti lagi dandanannya sesuai dengan negara yang mau didatanginya. padahal, belum lama ini dia menggubah dandanannya mirip istri seorang pemain sepakbola yang sedang berkunjung ke Indonesia bersama klubnya. Cukup mengherankan kalau sang artis tidak muncul sebagai dirinya sendiri dengan gaya uniknya. Alih-alih menjadi dirinya sendiri, si artis sibuk meniru apapun yang sedang ada di sekitarnya. 

Saya menjadi ingat sebuah adegan di film Narnia 3. Saat itu Lucy  berdiri termanggu sambil memandangi buku ajaib itu. Di depannya, sederet kata mantra untuk menjadi cantik menggodanya. Membuatnya berpaling dari apa yang dicari. Keinginan menjadi secantik Susan, kakaknya, membuat Lucy merobek halaman itu sebelum kemudian melanjutkan membukai halaman buku itu mencari mantra yang dibutuhkannya.

Susan yang cantik. Susan yang lembut. Susan yang populer. Susan yang mampu menarik perhatian Pangeran Caspian. Sosok Susan yang menarik inilah yang diam-diam membuat iri Lucy. Keinginan untuk menjadi seperti Susan membuat Lucy merapalkan mantra cantik itu.

Apa yang terjadi ? Lucy mendapati dirinya memang menjadi secantik Susan, namun tak ada Lucy lagi. Sosok Lucy tak muncul. Kedua saudara laki-lakinya, Peter dan Edmund pun tak mengenal adanya Lucy meskipun ia berusaha sekuat tenaga menjelaskan bahwa dia Lucy bukan Susan meski wajahnya sama. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang mau mengerti. Lucy tak ada. Lucy menghilang.

Di saat kebingungan, muncullah Aslan, sang singa bijaksana. Menunjukkan kepada Lucy bagaimana berharganya Lucy, meskipun tak secantik Susan. Menununjukkan kelebihan Lucy yang tidak dimiliki Susan. Mengingatkan bahwa tanpa Lucy, anak-anak Pevensie itu tak akan pernah ke Narnia, negeri dongeng dimana binatang dan pohon bisa berbicara. Lucy pun mengangguk paham. Lucy pun menyadari bahwa dia pun istimewa. Lucy adalah Lucy, bukan Susan atau yang lain.

Meskipun lebih dari tiga kali melihat, saya selalu termangu melihat adegan itu. Adegan yang sarat makna. Menunjukkan kepada kita untuk lebih menghargai diri sendiri.

Kerap kita hanya disibukkan untuk melihat orang lain. Orang yang lebih sukses dari kita, orang yang duluan dapat beasiswa ke luar negeri padahal baru lulus sebulan kemarin, orang yang mampu memegang jabatan lebih tinggi padahal masih pegawai baru, atau orang yang mampu duluan memiliki rumah seperti impian kita.

Saya pun mendapati ada seorang wali murid yang menanyakan prestasi anak orang lain yang dianggap ‘paling pandai’ di kelas lebih dulu daripada apa yang telah dicapai anaknya. Ironis bukan ?

Belajar menghargai diri sendiri dan percaya bahwa kita istimewa adalah salah satu wujud syukur kita kepada Sang Khaliq. Tuhan telah menciptakan kita istimewa. Mengapa kita harus memungkirinya ? Bersusah-susah menjadi orang lain hanya sekedar mendapatkan wah orang lain yang kerap semu. Kita hanya perlu menjadi diri kita dan mekaksimalkan sesuatu yang menjadi kelebihan kita.

Di saat-saat sekarang, mudah kita temui wajah-wajah dan gaya dandanan yang meniru orang – orang populer yang kerap membuat kita geleng – geleng kepala. Kalau yang meniru-niru para remaja, bisalah kita maklumi sebagai ajang pencarian identitas diri. Namun bila sudah separuh baya dan masih saja meniru gaya orang lain, lalu kapan menjadi dirinya sendiri ?


1 comment:

  1. Teringat Esai Eka Kurniawan (Kompas Minggu, 4 Des 2011) tentang POSE. Bahwa orang mengambil kecenderungan umum. Ia merasa menjadi diri sendiri bila dalam kerumunan (dimana 'meniru' agar sama dg kerumunan itu adalah hal yang mutlak) dan pada disebut 'the other' karena berbeda. Sekalipun itu citra personal dirinya.

    "Masa depan milik kerumunan, " kata Don DeLillo dalam novel Mao II.

    ReplyDelete