Pages

Thursday 22 December 2011

Because i'm the leader ...

Baru saja usai uji kompetensi di sekolah. Anak-anak pun sekarang telah libur. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan telah berlalu. Meski begitu, selalu saja ada cerita bila bersama mereka. Selalu ada saja ide untuk menulisnya.

berdiskusi,
belajar mendengarkan dan didengarkan
Setiap uji kompetensi, selalu ada daftar hadir yang beredar. Anak-anak harus menuliskan nama mereka. Memakai pensil tentu sebab anak kelas 2 sekolah dasar masih menggunakan pensil sebagai alat tulisnya. Mereka selalu senang menulis nama di daftar hadir itu karena hal baru bagi mereka.

Mereka pun menanyakan kegunaan daftar hadir tersebut dan mengapa mereka harus menulis nama. Mengapa nama  dan bukan tanda tangan ? tanya seorang anak yang pernah melihat ayahnya menandatangani daftar hadir. Saya pun menjelaskan sebenarnya boleh memakai tanda tangan asal bentuknya selalu sama, tidak berubah-ubah. Maka, berekspresilah beberapa murid saya membentuk tanda tangannya. Ada yang memakai smile, bintang di atas, tanda hati, dan bendera negara yang disukai. Hm...

”Bu, mengapa nama saya kok selalu ada di nomor 16 ? Saya kan ketua kelas. Boleh tidak pindah di nomor 1 ?”

Sebuah pertanyaan mengagetkan dari seorang anak saat saya mengedarkan daftar hadir di hari ketiga uji kompetensi.
Penjelasan bahwa namanya telah diketik sesuai dengan urutan abjad ternyata kurang memuaskannya. Ketika istirahat, ia pun menghampiri saya dan mengulang kembali permintaannya. Untuk sementara, saya hanya mendengarkan dan akan menanyakan kepada bagian tata usaha, boleh tidak mengubah susunan namanya. Dia terlihat puas dan kembali bermain bersama teman-temannya.

Esok harinya, sebelum iqro dimulai, saya membuka diskusi dengan sebuah cerita. Kisah tentang seorang pemimpin yang baik hati. Pemimpin yang mampu membawa kejayaan umat islam. Pemimpin yang selalu melindungi yang dipimpin, rakyatnya. Pemimpin yang mau memikul sekarung beras sendirian ketika tahu ada rakyatnya yang lapar. Pemimpin yang tak sombong dan sederhana. Pemimpin yang tak selalu di depan, namun bisa di tengah, dan di belakang. Umar bin Khattab.

Di akhir cerita, saya pun menanyakan kepada anak-anak apakah diantara mereka mau menjadi pemimpin seperti Umar bin Khattab. Hampir semua anak mengangkat tangan. Termasuk sang ketua kelas.

”Bu, jadi pemimpin yang baik itu tidak harus selalu nomor satu ?” tanyanya. Saya tersenyum dan menggeleng. Pemimpin yang baik itu yang bisa kemana saja, di nomor satu tidak apa-apa, di nomor lima tak masalah, di nomor delapan belas pun okay. Dimana pun dia berada, kalau dia pemimpin yang baik selalu terlihat, meskipun tidak di nomor satu. Disayangi oleh yang dipimpin. Disayang oleh Tuhan. Tuhan tidak melihat kita ini pemimpin atau bukan. Tuhan melihat kebaikan apa yang telah kita lakukan. Murid saya pun mengangguk sambil tersenyum. ”Aku tak jadi nomor satu bu, di nomor enam belas juga tak apa-apa”.

Ah, anak-anak. Kejadian diatas saya anggap sebagai hal yang wajar. Sebuah proses belajar menjadi bagian dari masyarakat untuk anak-anak di usia perkembangan. Pengakuan dan penerimaan sekaligus bimbingan kita, para dewasa, adalah yang terpenting untuk mendampingi masa-masa mereka belajar berproses. Mengetahui mana yang salah dan mana yang benar. Sehingga ke depan, anak-anak mampu memilih ke arah mana keputusannya nanti.

Semoga anak-anak kita menjadi manusia yang lebih baik kelak. Amien. 

No comments:

Post a Comment