Pages

Friday 19 August 2011

Aku Tidak Ngambek...


bermain pun adalah  proses mengendalikan keakuan diri

Menjadi guru di kelas dua memang tidak sama dengan ketika menjadi guru di kelas satu. Kita lebih mudah beradaptasi sebab telah mengenal mereka sebelumnya. Selain itu anak-anak pun cukup percaya diri  karena telah  akrab dengan lingkungan sekolahnya. Mereka pun lebih matang satu tahun dibanding dengan anak-anak kelas satu.

Meskipun begitu, mereka tetaplah dalam tataran anak usia dini. Masih senang bermain, kerap berselisih paham dengan teman dan sebentar kemudian bermain bersama kembali, suka bercerita dan didengarkan, serta belajar tentang lingkungannya.


Ekspresi malu saat di kelas satu dulu memang sudah tidak ada. Bila berbaris bersama saat ikrar bersama adik kelas satu, terlihat bangga dan senang. Dengan penuh semangat dan tegap memimpin ikrar. Merasa menjadi kakak, sudah lebih besar, dan menjadi contoh.

”Bu, adik kelas satu imut-imut ya?” kata seorang murid. Saya hanya mengangguk dan tersenyum. Sudah merasa gedhe mereka.

Namun anak-anak tetaplah anak-anak. Pertemanan baru di kelas karena  adanya pencampuran ulang dengan anak dari kelas berbeda membuat mereka pun harus beradaptasi.

Di kelas saya, ada anak yang cukup lama dalam beradaptasi dengan teman baru. Meskipun sudah saling mengenal saat di kelas satu, namun interaksi di dalam kelas dua sekarang yang lebih intens kerap menimbulkan beberapa perselisihan.

Murid saya ini mudah ngambek bila keinginannya tidak dituruti baik oleh saya dan (terutama) teman-temannya. Dia selalu ingin menjadi yang pertama dalam semua hal termasuk duduk di karpet dan menerima buku penghubung.

Awalnya sebagian anak mengalah. Namun lama-lama mereka pun memperlakukannya sama. Bila memang datangnya belakang maka duduknya juga di belakang. Saya mendukung anak-anak tersebut dan memberi pengertian kepadanya.

Proses memahami dan mau mengalah adalah proses belajar mengendalikan keakuan diri (ego) untuk kepentingan orang lain.

Pada minggu-minggu pertama mengalami proses belajar mengendalikan aku-nya diri ini, murid saya mengalami banyak saat-saat sulit.  Tidak mudah memang baginya. Kerap dia harus menahan perasaan, bila tidak tahan akan duduk menyendiri sambil memberengut atau menangis.

Peran saya sebagai guru adalah mendampingi dan membesarkan hatinya sekaligus memahamkannya akan proses adaptasi ini.

Ada saat bila memang dia harus mengantri namun tidak mau mengantri lalu ngambek, saya biarkan dulu. Murid-murid yang lain awalnya ada yang berkomentar tentangnya. ”Ngambek lagi”, dan dia akan menjawab kalau tidak ngambek sambil memberengut. Untuk hal ini, saya mengingatkan kepada yang lain untuk tidak berkomentar dan sedikit sabar dengannya. Kadang dia juga terus membuntuti saya dan protes. Minta diperhatikan. Saya hanya memandang atau mendengarkannya tanpa berkomentar. Murid saya pun harus belajar bahwa tidak semua keinginannya bisa dipenuhi.

Setelah beberapa saat dan agak tenang, baru saya ajak dia bicara. Kerap bicaranya bernada mendesak dan agak tinggi. Saya kerap memberi contoh cara mengucapkan sesuatu dengan nada yang lebih rendah dan murid saya harus mengulangi. Baru kemudian saya jelaskan bahwa semua ada aturannya dan dia pun akan mendapatkan giliran. Tidak harus selalu di depan atau nomer satu. Alhamdulillah bergulir waktu, murid saya ini bisa memahami dan menyesuaikan diri.

Yeah, tetap menarik mengamati perkembangan anak-anak. Mendampingi mereka dari waktu ke waktu sambil menemukan banyak hal dan kemajuan baru yang mampu dilakukannya. Perlu diingat bahwa meskipun mereka sudah lebih matang namun mereka pun masih anak-anak usia dini yang perlu selalu kita dampingi demi kematangan jiwanya yang lebih baik.









No comments:

Post a Comment